Rencana untuk memberlakukan kemasan rokok tanpa merek (plain packaging) terus memicu perdebatan. Banyak yang berpendapat bahwa industri tembakau, termasuk sektor sigaret kretek tangan yang banyak menyerap tenaga kerja, harusnya tetap mendapat perlindungan.
Pakar hukum, Kris Wijoyo Soepandji, menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang diterapkan pada industri tembakau perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama dampak negatif yang bisa muncul. Salah satu yang jadi sorotan adalah Rancangan Permenkes yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.
Kris khawatir aturan ini bisa berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) para pekerja di industri tembakau yang padat karya. Padahal, saat pandemi lalu, pemerintah sudah berusaha keras untuk melindungi sektor padat karya sambil tetap meningkatkan pendapatan negara. Kris pun mengingatkan pemerintah untuk terus mengeluarkan kebijakan yang melindungi perekonomian nasional setelah pandemi.
“Yang perlu kita lihat dengan bijak adalah apakah kebijakan ini bisa benar-benar mendorong kemajuan, kesejahteraan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Kris juga meminta pemerintah untuk lebih mempertimbangkan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang sudah menjadi tujuan Presiden Prabowo Subianto. Selain itu, ia merasa perlu ada pelibatan publik dari berbagai sektor supaya pemerintah bisa mengambil keputusan yang lebih tepat, dengan memperhatikan berbagai kepentingan nasional.
Menurut Kris, kebijakan juga harus dilihat dari sisi manfaat dan biaya ekonomi, atau dikenal dengan istilah positive externality dan negative externality. Kalau memang ada dampak negatif, pemerintah harus mencari cara untuk mengontrolnya tanpa merugikan perekonomian negara. Dalam hal ini, ia menilai bahwa Rancangan Permenkes bisa berisiko mengurangi pendapatan negara, sementara visi pengendalian konsumsi rokok dalam kebijakan tersebut masih diragukan.
Industri tembakau sendiri merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Jadi, kalau Rancangan Permenkes diterapkan tanpa memperhitungkan dampaknya, industri ini bisa terancam, yang akhirnya berpotensi memicu PHK massal dan mempengaruhi ekonomi negara.
Kris juga menekankan bahwa kebijakan yang diambil harus memastikan keberlangsungan industri-industri besar yang berkontribusi pada pendapatan negara tetap terjaga. Langkah ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang diusung Presiden Prabowo Subianto, yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8% dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan.